Senin, 13 Oktober 2008

Bagaimana Menghambat Krisis Ini?



JAKARTA
Pekan lalu, barangkali akan menjadi saat terkelam dalam sejarah bursa efek di Indonesia, ketika otoritas bursa terpaksa melakukan suspensi pasar sampai dua kali. Senin pagi (13/10) ini, diharapkan bursa sudah kembali dibuka.

Dalam situasi seperti sekarang, tidak ada gunanya terus memupuk kepanikan. Depresi dunia tahun 1929 juga terjadi karena kepanikan yang menjadi-jadi. Namun, sejak itu, dengan beberapa kali peristiwa serupa, kita terbukti selalu bisa keluar dari krisis itu. Kali ini pun kita harus keluar dari krisis, dan menata ulang sistem perekonomian, untuk tidak terjerumus ke kesalahan yang sama.

Distribusi Aset Global

Bahwa bursa efek mengalami koreksi tajam, barangkali itu merupakan mekanisme alaminah yang harus terjadi. Sebelum ini, sebenarnya sudah sering analisis dikemukakan, bahwa akselerasi leverage yang terjadi di sektor finansial, yang dipicu oleh aktivitas dan “kreativitas” bank investasi, hedge funds dan lain-lain, yang menimbulkan economic bubble, cepat atau lambat akan terkoreksi. Namun seberapa besar koreksi itu akan terjadi, dan kapan bakal terjadi, itu belum ketahuan jawabnya.

Beberapa peristiwa seperti krisis finansial Asia 1997 dan Rusia 1998 yang sempat membangrutkan hedge fund terkemuka Long Term Capital Management (LTCM), meski sudah coba disuntik The Fed, kenyataannya masih bisa dilalui dengan baik. Selanjutnya, serangan teroris ke World Trade Center pada 11 September 2001, juga sempat membuat bursa Wall Street tutup beberapa hari, harga indeks jatuh, namun ternyata juga masih bisa selamat. Skandal Enron, berupa tipu muslihat akuntansi pada tahun 2002, juga sempat menimbulkan kepanikan, karena jatuhnya kepercayaan pada bursa (distrust), namun ternyata juga belum mampu merobohkan perekonomian.

Kali ini, krisis disebabkan oleh kombinasi antara kredit macet sektor perumahan Amerika Serikat (AS) sejak Juli 2007serta kenaikan harga minyak dunia secara drastis sejak Juli 2005, dari level US$ 30 per barel menjadi US$ 147 per barel (Juli 2008), dan sekarang sudah di bawah US$ 80 per barel. Apakah perekonomian dunia kali ini juga dapat bertahan dari krisis ini?

Sejauh ini, program penalangan (bailout) yang dilakukan pemerintah AS terhadap bank-bank investasi yang bangkrut bernilai US$ 700 miliar. Angka ini memang besar, namun dibandingkan kekuatan ekonomi AS secara keseluruhan, yang tercermin dari Produk Domestik Bruto (PDB)-nya yang mencapai US$ 14 triliun, ternyata hanya 5%.

Bagaimana pemerintah AS bisa mendanai kebutuhan bailout tersebut? Caranya, pemerintah AS tampaknya akan menerbitkan obligasi, baik jangka pendek (T-bills) maupun jangka panjang (T-bonds). Pemerintah AS perlu minta bantuan negara-negara besar lain untuk membelinya. Bukan saja ke negara-negara mapan seperti Zona Eropa, Inggris, dan Jepang, namun juga emerging countries seperti Tiongkok. Apa lagi Tiongkok sekarang ini merupakan penumpuk cadangan devisa terbesar di dunia (US$ 1,8 triliun), dan memiliki surplus perdagangan yang amat besar, US$ 250 miliar per tahun. Saat ini, hanya Jerman yang memiliki surplus perdagangan terbesar di dunia (US$ 280 miliar).

Pertanyaannya, apakah Tiongkok mau menolong? Saya yakin mereka pasti (dan harus) mau, karena jika Tiongkok berpangku tangan (do nothing), maka krisis AS akan berdampak besar bagi perekonomian mereka. Jangan lupa, mayoritas surplus perdagangan Tiongkok adalah terhadap AS. Jika perekonomian AS hancur, Tiongkok juga akan rugi besar. Dengan kata lain, dunia harus menempatkan krisis AS sebagai musuh bersama, sehingga penanggulangannya pun harus dilakukan secara bersama-sama dengan kompak.

Selanjutnya, pemerintah AS juga akan menjual aset-aset perusahaan finansial yang bermasalah, melalui lembaga yang dibentuknya, yakni Troubled Asset Relief Programme (TARP). Lembaga ini mirip Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) di Indonesia dulu. Yang berpotensi membeli aset-aset perusahaan yang terkena krisis ini, tentunya adalah negara-negara kaya di Timur Tengah yang memiliki sovereign wealth fund, Kawasan Euro, Inggris, Jepang, Rusia, dan (lagi-lagi) Tiongkok. Negara-negara kunci tersebut harus menunjukkan solidaritasnya, karena kepentingan perekonomian global sedang dipertaruhkan.

Dengan kesamaan pemahaman terhadap krisis semacam ini, maka jalan penyelamatan perekonomian global sebenarnya sudah terbentang di depan mata. Tinggal sekarang sejumlah lobi dan pertemuan internasional untuk penggalangan ini yang harus dilakukan secara intensif. Memang ini menimbulkan konsekuensi, bahwa ke depan nanti kita akan menyaksikan banyak aset ekonomi penting yang semula menjadi milik investor AS, akan beralih kepemilikan kepada negara-negara lain yang memiliki dana besar. Kita akan menyaksikan pola distribusi aset yang menyebar dari AS ke bangsa-bangsa lain.

Perekonomian Indonesia

Barangkali agak ironis, bahwa apa yang dialami AS sekarang, meski tidak sama persis, ternyata memiliki analogi terhadap apa yang terjadi di Indonesia saat krisis 1998. Bank-bank dan perusahaan-perusahaan milik kelompok bisnis (konglomerat) telah beralih kepemilikan, dari milik investor Indonesia ke asing. Hal itu tampaknya akan berulang dalam kasus AS sekarang.

Bagi Indonesia, apa perbedaan antara krisis sekarang dan krisis 1998? Perbedaannya, krisis Indonesia dimulai dari rapuhnya kondisi bank-bank komersial, yang rawan terjadinya tindak moral hazard karena struktur kepemilikan bank kita yang tidak sehat, karena dimiliki oleh kelompok-kelompok usaha yang sarat kepentingan oleh dirinya sendiri. Konkretnya, banyak dana bank disalurkan ke kelompoknya sendiri, sehingga filternya minimal, sehingga mudah timbul pelanggaran legal lending limit.

Sedangkan dalam kasus sekarang, krisis dimulai dari kesembronoan bank investasi di AS, yang secara berani melakukan sekuritisasi aset yang didasarkan pada kredit perumahan (mortgage loans), dan terutama yang kualitasnya kurang baik (subprime mortgage loans). Sejak 1990, kepemilikan rumah di AS begitu mudah ditawarkan oleh bank-bank. Karena bagi bank, jika terjadi kemacetan kredit perumahan, solusinya gampang sekali: sita rumahnya, dilelang, lalu selesai.

Namun, karena harga minyak naik drastis pada pertengahan 2005, terpaksa suku bunga pun naik, dari Fed rate di bawah 2% menjadi 5,25%. Tujuannya agar inflasi terkendali. Inflasi di AS berlipat dari 2% menjadi di atas 5%. Namun, apa akibatnya? Kredit perumahan menjadi macet. Ketika kemacetan terjadi secara massal, maka hasilnya adalah kepanikan yang menjadi-jadi. Harga saham perusahaan finansial yang banyak melakukan exposure di kredit perumahan pun kolaps.

Bagi perekonomian Indonesia, krisis 1998 adalah lebih berat, karena sumber krisis berasal dari sini. Sedangkan krisis 2008, gelombang krisis akan tertransmisikan lebih lambat ke Indonesia. Yang terkena langsung adalah bursa efek. Namun, sebenarnya skala bursa efek, yang nilai transaksinya rata-rata Rp 5 triliun sehari, relatif kecil dibandingkan kekuatan ekonomi Indonesia secara keseluruhan, yang bisa direpresentasikan dengan PDB yang saat ini sekitar Rp 4.200 hingga Rp 4.400 triliun.

Cepat atau lambat, kepanikan di bursa efek memang akan tertransmisikan juga ke sektor riil. Namun, dengan perlawanan yang sengit dari negara-negara besar untuk memadamkan krisis AS, saya masih menyimpan optimisme, bahwa krisis ini dapat dihambat, atau dinetralisasikan, sehingga dampak negatifnya dikurangi.

Harga saham memang akan terkoreksi, sementara harga komoditas pun akan menemukan ekulibirumnya yang baru. Harga minyak dunia, misalnya, bisa jadi akan stabil di level US$ 70 hingga US$ 80 per barel. Ini sudah lebih tinggi daripada sebelumnya yang tertahan pada level US$ 30 per barel selama lebih dari 25 tahun sejak 1981. Namun harga baru ini jauh lebih rasional daripada rekor harga tertinggi US$ 147 per barel pada 11 Juli 2008 yang lalu.

Disadari atau tidak, kini kita tengah melangkah menuju ekuilibrium baru perekonomian dunia. Hendaknya hal ini diterima sebagai sebuah keniscayaan, atau peristiwa alamiah yang tak terhindarkan. Cepat atau lambat, koreksi economic bubble semacam ini memang harus terjadi. Kita harus menyikapinya dengan tidak bereaksi secara panik berlebihan. Kepanikan semacam itu sama sekali tidak produktif, dan hanya akan menjerumuskan kita semua ke lubang penderitaan secara bersama-sama. Itu sama sekali tidak ada manfaatnya. Kita harus menghindari hal itu dengan berpikir dan bertindak secara tenang.

*) Penulis adalah dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, serta Chief Economist Bank Negara Indonesia (BNI)Investor Daily

Tidak ada komentar:


Free chat widget @ ShoutMix
hit counter KampungBlog.com - Kumpulan Blog-Blog Indonesia blog-indonesia.com blog-indonesia.com http://iwanfalsmania.blogspot.com Blogging Blogs - BlogCatalog Blog Directory