Kamis, 12 Juni 2008

Asal-Usul Haul dan Kenduri Kematian



Asal-Usul Haul dan Kenduri Kematian



Budaya kenduri kematian dalam ta'ziah seperti tahlil, bukanlah berasal dari budaya Hindu dan Budha seperti yang dikalim oleh segolongan orang. Sebab kedua agama ini tidak mengenal istilah itu.
Demikian diungkapkan oleh pengamat budaya dan sejarah Agus Sunyoto seperti yang dikutip Antara News pada seminar internasional, "Cheng Hoo, Wali Songo dan Muslim Tionghoa Indonesia di Masa Lalu, Kini dan Esok" yang digelar Yayasan Haji Muhammad Cheng Hoo dan PITI di Surabaya, Minggu.Menurutnya, dalam agama Hindu atau Budaha tidak dikenal kenduri dan tidak pula dikenal peringatan orang mati pada hari ketiga, ketujuh, ke-40, ke-100 atau ke-1.000. Masih menurut Antara, Agus mengemukakan bahwa catatan sejarah menunjukkan orang Campa memperingati kematian seseorang pada hari ketiga, ketujuh, ke-40, ke-100 dan ke-1.000. Orang-orang Campa juga menjalankan peringatan khaul, peringatan hari Assyuro dan maulid Nabi Muhammad SAW."Mencermati fakta itu, maka saya berkeyakinan tradisi kenduri, termasuk khaul adalah tradisi khas Campa yang jelas-jelas terpengaruh faham Syi`ah. Demikian juga dengan perayaan 1 dan 10 Syuro, pembacaan kasidah-kasidah yang memuji-muji Nabi Muhammad menunjukkan keterkaitan tersebut," katanya.Bahkan, katanya, istilah kenduri itu sendiri jelas-jelas menunjuk kepada pengaruh Syi`ah karena dipungut dari bahasa Persia, yakni Kanduri yang berarti upacara makan-makan memperingati Fatimah Az Zahroh, puteri Nabi Muhammad SAW.Agus Sunyoto yang juga dikenal sebagai penulis sejumlah novel dengan latar belakang wali, antara lain Syekh Siti Jenar yang bersambung hingga tujuh novel itu mengemukakan bahwa ditinjau dari aspek sosio-historis, munculnya tradisi kepercayaan di Nusantara ini banyak dipengaruhi pengungsi dari Campa yang beragama Islam."Peristiwa yang terjadi pada rentang waktu antara tahun 1446 hingga 1471 masehi itu rupanya memberikan kontribusi yang tidak kecil bagi terjadinya perubahan sosio-kultural religius di Majapahit," kata mantan wartawan yang kini menjadi dosen budaya di Unibraw Malang itu.Ia memberi contoh kebiasaan orang Campa yang memanggil ibunya dengan sebutan "mak", sedangkan orang-orang Majapahit kala itu menyebut "ibu" atau "ra-ina". Di Surabaya dan sekitarnya, tempat Sunan Ampel menjadi raja, masyarakat memanggil ibunya dengan sebutan "mak"."Pengaruh kebiasaan Campa yang lain terlihat pula dalam cara orang memanggil kakaknya atau yang lebih tua dengan sebutan `kang`, sedangkan orang Majapahit kala itu memanggil dengan sebutan `raka`. Untuk adik, orang Campa menyebut `adhy`, sedangkan di Majapahit disebut `rayi`," katanya.Pada kesempatan itu, Agus membedakan pengaruh muslim Cina dengan Campa di masa-masa akhir kejayaan kerajaan Majapahit atau di era Wali Songo. Muslim Campa selama proses asimilasi melebur dengan penduduk setempat, hingga watak Campanya hilang dan berbaur dengan kejawaan."Tapi muslim Cina masih cukup kuat menunjukkan eksistensi kecinaannya sampai beberapa abad," katanya.Seminar untuk mengenang kebesaran Laksamana Cheng Hoo dan kaitan penyebaran Islam di Nusantara serta peran Wali Songo itu menghadirkan sejumlah pakar dari Cina, Malaysia dan Indonesia sendiri.(ant/kurt)


Ulama NU mengadopsi"

Meskipun ulama NU mengadopsi budaya Campa yang dipengaruhi Syiah, bukan kemudian menjadi syaiah. Tetapi orang-orang NU tetap mengakui semua khualfaurrasyidin, mengakui Imam Ali. Berbeda dengan Syiah yang hanya mengakui Imam Ali Karromallahu Wajhah sebagai penerus satu-satunya Nabi Muhammad saw. Contohnya dalam setiap terawih tetapi dibacakan keempat imam itu. Juga dalam khutbah Jum'at dibacakan keempatnya. Itu menunjukkan bahwa Ulama NU bukanlah Syiah.

Tidak ada komentar:


Free chat widget @ ShoutMix
hit counter KampungBlog.com - Kumpulan Blog-Blog Indonesia blog-indonesia.com blog-indonesia.com http://iwanfalsmania.blogspot.com Blogging Blogs - BlogCatalog Blog Directory